Tentang Seseorang

Saya tercengang melihatnya.

Dia masih tinggi dan tegap, hanya saja terlihat jelas bahwa berat tubuhnya telah menurun drastis. Seragam abu kecoklatan membungkus badannya dengan sempurna, menunjukkan lekuk otot hasil latihan dua bulan terakhir ini. Alisnya masih tebal, hanya saja sekarang rambutnya tinggal berupa lembaran-lembaran pendek yang tertutup topi hampir setiap waktu.

Dia telah berubah, sekaligus tetap sama. Teman yang selalu menjadi tebengan setia saya selama SMA, Giri Sona.

***

Kami bertiga duduk di teras rumahnya, mengobrol seperti saat masih kelas sepuluh dulu. Saya, yang baru saja selesai UTS, Jeremy, yang masih menikmati masa luangnya dan Rison, yang sedang cuti pulang dari masa pendidikannya di kepolisian.

Seperti istilahnya, dia telah menjadi abdi negara.

Di teras rumahnya, dia masih anak kedua orangtuanya. Begitu serah terima, dia telah menjadi anak negara. Seluruh keperluannya ditanggung negara, dari ujung rambutnya yang tinggal tersisa sedikit hingga kakinya yang kini penuh bilur keunguan. Karena itulah, di luar sana, dia harus menerima perintah apapun yang diberikan kepadanya.

Dia menceritakan beberapa kisahnya. Lucu, konyol bahkan. Kami semua tertawa, tapi kami sama-sama tahu, dia hanya tertawa karena mengenang. Kami sama-sama tahu bahwa pada saat cerita tersebut berlangsung, keadaannya sama sekali berbeda. Takut, lelah dan bencilah yang menguasai suasana saat itu.

Dulu dia benci band Kotak, sekarang dialah yang mengamankan pertunjukkan band tersebut dari orang-orang mabuk. Katanya, dia tak lagi sempat memikirkan rasa bencinya. Yang dia pikirkan cuma satu: bagaimana cara menghadapi massa yang kian tak terkontrol.

Itu belum seberapa.

Nantinya dia akan ditugaskan di barisan terdepan, hanya di balik selapis tameng, menghadapi kerusuhan yang jauh lebih tidak terkontrol dibandingkan dengan euphoria penonton konser. Gurunya bahkan menunjukkan video di mana beberapa orang polisi yang bertugas tertusuk oleh bambu runcing.

“Bayangin temen lo nanti ada di posisi kaya gitu,” katanya.

Saya hanya bisa memandang bilur ungu di kepalan tangannya. Saya tahu, itu adalah memar akibat push-up. Saya tahu, itu hanyalah sedikit dari sekian luka di badannya. Saya tahu, bahwa pengorbanannya tidak akan berhenti sebatas pada luka-luka itu saja.

Menjadi abdi negara terkadang berarti mengorbankan nyawa.

***

Siang itu kami tidak bisa mengobrol lama. Dia sudah harus kembali ke pendidikan. Kami bertiga berdiri, saling menatap satu sama lain, karena kami tahu, mungkin akan lama sekali sampai kami bisa mengobrol seperti ini lagi.

Dia menjabat tangan Jeremy, sahabat terbaik yang tidak ada gantinya di antara 478 siswa lain di pendidikan itu.

Lalu dia menjabat tangan saya, dan menoleh kepada Jeremy.

“Jagain ya, adik gua nih.”

Dengan kata adik itu, kami bersaudara.

Saya selalu merasa kami dekat, karena dia merupakan teman sekelas, tebengan dan juga anak dari teman karib ayah saya. Kami saling bercerita, saling memberi kabar, saling mendukung satu sama lain ketika gagal. Tapi saya tidak pernah merasa sedekat itu secara emosional dengan dia sebelumnya.

Benar kata orang, terkadang, kita tidak pernah mengetahui sedekat apa kita sampai orang tersebut meninggalkan kita.

Sekarang, saya hanya bisa berharap agar dia baik-baik di sana, agar ketika saya melihatnya lagi, tidak ada bilur ungu tambahan di tubuhnya, dan agar dia tahu, bahwa saya selalu mendoakannya.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.