Jangan toleransi perbedaan

“Kapan terakhir kali kamu ditanya apa agamamu di dunia ini?”

Pertanyaan tersebut diajukan salah satu rekan saya di kantor dalam tulisannya. Membaca itu, saya tertegun dengan seberapa sering kita terobsesi dengan agama. Dalam hampir setiap formulir ada saja kolom mengenai agama.

Seringnya saya mencentang kolom “lain-lain”. Bukannya karena saya menganut kejawen atau kepercayaan lain (tanpa bermaksud menyinggung penganutnya), tapi karena agama yang saya jalani memang sering dikelompokkan sebagai lain-lain.

Saya minoritas. Dobel minoritas, malah. Saya Cina, meski kadang kelihatannya tidak begitu. Dan saya bukan Muslim, tidak pula pergi ke gereja, maupun ikut Nyepi. Saya beribadah di vihara, bukan kelenteng, dan merayakan Waisak, Asadha, Maga Puja, dan Kathina. I bet most of the people here have not even heard of the latter three – only Vesak is recognized in the country.

Agama seringkali menjadi masalah. Mau tidak mau, agama mempengaruhi siapa saya. Status saya sebagai minoritas mempengaruhi bagaimana saya di masyarakat, membuat saya memiliki realita yang berbeda dengan yang mayoritas. Silakan baca tulisan ‘Demo, panik, dan perbedaan realita‘ untuk mengerti lebih lanjut.

Seringkali, agama menjadi pembatas. Orangtua saya memang tidak pernah mempermasalahkan soal agama teman-teman saya. Saya bebas bergaul dengan siapa saja, mau berkerudung maupun yang namanya dari alkitab. Teman saya biasa menumpang shalat di rumah, dan kami dengan happy menerima kiriman kue Natal.

Tapi kadang hanya sebatas itu saja toleransi kita terhadap perbedaan.

“Kapan terakhir kali kamu ditanya apa agamamu di dunia ini?”

Saya akhir-akhir ini sering ditanya variasinya, yaitu apa agama pasangan. Ketika dijawab, kebanyakan berkomentar, “Lah kalau beda gitu terus gimana?”

Karena meskipun kita bisa hidup berdampingan dengan yang berbeda, sesungguhnya masih sulit di Indonesia untuk menerima perbedaan di bawah atap sendiri.

“Yang seagama saja bisa ribut, bagaimana yang berbeda?” begitu kata orang. Mereka lupa bahwa dari kalimat yang sama, kita bisa berargumen kalau toh ternyata agama memang bukan jaminan.

Barulah saya sadar arti dan batas toleransi perbedaan di Indonesia, dan betapa bahayanya jika kita terus-menerus menggunakan kata ‘toleransi’. Coba lihat arti kata toleransi di KBBI:

toleransi/to·le·ran·si/ n

1 sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh –; 2 batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3 penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja;

Perhatikan poin nomor tiga: ‘penyimpangan yang masih dapat diterima’. Ketika kita menggunakan kata ‘toleransi perbedaan’, kita masih menganggap bahwa perbedaan adalah sesuatu yang menyimpang. Boleh saja ada, kadang masih bisa diterima, tapi tetap sebuah penyimpangan – sesuatu yang konotasinya negatif. Toleransi pun mengindikasikan adanya batas, karena jelas tidak semua penyimpangan bisa diterima. Seperti halnya dengan hubungan kita dengan yang berbeda agama: boleh saja berteman, tapi tidak untuk menikah.

Saya bukan ahli bahasa, juga tidak pernah belajar bahasa secara mendalam, tapi sekarang saya punya sentimen sendiri terhadap kata ‘toleransi’. Selama kita ini masih menoleransi perbedaan, tapi tidak pernah benar-benar menerimanya.

terima/te·ri·ma/ v cak menyambut; mendapat (memperoleh) sesuatu

Jangan toleransi perbedaan, itu bukan sesuatu yang negatif, bukan penyimpangan.

Sambutlah, terimalah.

 

2 thoughts on “Jangan toleransi perbedaan

  1. Indonesia sebagian besar masyarakatnya kelas menengah bawah yang kurang melihat ‘pola hidup’ dunia luar/negara maju yang lebih toleran. Masyarakat Indonesia untuk baca prosedur tips/trik/trip/schedule aja males. Apalagi mau baca tulisan yang panjang, jadi kebanyakan mereka masih menganut kebiasaan kuno(percaya omongan orang). Setiap ada hal yang beda jadi bahan gosipan, dibully, dikucilkan->mental drop, gak percaya diri->mayoritas menang. Kebanyakan intoleransi kayak gitu berasal dari daerah pelosok sih haha. Sekian *turun podium*

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.